Tasawuf + Tawasul + Rabitah (Penuntun Hati) + Muroqabah (Radar Allah) + Wasilah (Pangkat Rohani) = MANUSIA
Jumaat, 21 Julai 2017
Strategi Dakwah Nabi Di Madinah
Sumber : bacaanmadani.com
Pokok-pokok pikiran yang dijadikan strategi dakwah Rasulullah SAW periode Madinah adalah : 1. Berdakwah dimulai dan diri sendiri, maksudnya sebelum mengajak orang lain meyakini kebenaran Islam dan mengamalkan ajarannya, maka terlebih dahulu orang yang berdakwah itu harus meyakini kebenaran Islam dan mengamalkan ajarannya. 2. Cara (metode) melaksanakan dakwah sesuai dengan petunjuk Allah SWT dalam Surah An-Nahl, 16: 125. 3. Berdakwah itu hukumnya wajib bagi Rasulullah SAW dan umatnya. Dalil wajibnya: Al-Qur’an Surah Ali ‘Imrãn, 3: 104, dan Hadis Rasulullah SAW: Artinya: “Sampaikanlah, apa yang berasal dariku (tentang Islam), walaupun hanya satu ayat.“ (HR. Bukhari) 4. Berdakwah dilandasi dengan niat ikhlas karena Allah SWT semata, bukan dengan niat untuk memperoleh popularitas dan keuntungan yang bersifat materi. Umat Islam dalam melaksanakan tugas dakwahnya, selain harus menerapkan pokok-pokok pikiran yang dijadikan sebagai strategi dakwah Rasulullah SAW, juga hendaknya meneladani strategi Rasulullah SAW dalam membentuk masyarakat Islam atau masyarakat madani di Madinah. Masyarakat Islam atau masyarakat madani adalah masyarakat yang menerapkan ajaran Islam pada seluruh aspek kehidupan sehingga terwujud kehidupan bermasyarakat yang baldatun tayyibatun wa rabbun gafur, yakni masyarakat yang baik, aman, tenteram, damai, adil, dan makmur di bawah naungan rida Allah SWT dan ampunan-Nya. Usaha-usaha Rasulullah SAW dalam mewujudkan masyarakat Islam seperti tersebut adalah : 1. Membangun Masjid Masjid yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah SAW di Madinah ialah Masjid Quba, yang berjarak ± 5 km, sebelah barat daya Madinah. Masjid Quba ini dibangun pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun pertama hijrah (20 September 622 M). Setelah Rasulullah SAW menetap di Madinah, pada setiap hari Sabtu, beliau mengunjungi Masjid Quba untuk salat berjamaah dan menyampaikan dakwah Islam. Masjid kedua yang dibangun oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya ada Masjid Nabawi di Madinah. Masjid ini dibangun secara gotong royong oleh kaum: Muhajirin dan Anshor, yang peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan peletakan batu kedua, ketiga, keempat, dan kelima dilaksanakan oleh para sahabat terkemuka yakni : Abu Bakar r.a., Umar bin Khattab r.a., Utsman bin Affan r.a., dan Ali bin Abu Thalib. Mengenai fungsi atau peranan masjid pada masa Rasulullah SAW adalah sebagai berikut : • Masjid sebagai sarana pembinaan umat Islam di bidang akidah, ibadah, dan akhlak. • Masjid merupakan sarana ibadah, khususnya salat lima waktu, salat Jumat Tarawih, salat Idul Fitri, dan Idul Adha. (Lihat Q.S. Al-Jinn, 72 : 18 !). • Masjid merupakan tempat belajar dan mengajar tentang agama Islam bersumber kepada A1-Qur’an dan Hadis. • Menjadikan masjid sebagai sarana kegiatan sosial. Misalnya sebagai tempat penampungan zakat, infak, dan sedekah dan menyalurkannya kepada yang berhak menerimanya, terutama para fakir miskin dan anak-anak yatim terlantar. • Masjid sebagai tempat pertemuan untuk menjalin hubungan persaudaraan sesama Muslim (ukhuwah Islamiah) demi terwujudnya persatuan. • Menjadikan halaman masjid dengan memasang tenda, sebagai tempat pengobatan para penderita sakit, terutama para pejuang Islam yang menderita luka ikibat perang melawan orang-orang kafir. Sejarah mencatat adanya seorang perawat wanita terkenal pada masa Rasulullah SAW yang bernama “Rafidah”. • Rasulullah SAW menjadikan masjid sebagai tempat bermusyawarah dengan para sahahatnya. Masalah-masalah yang dimusyawarahkan antara lain ; usaha usaha untuk mengatasi kesulitan, usaha-usaha untuk memajukan umat Islam, dan strategi peperangan melawan musuh-musuh Islam agar memperoleh kemenangan, 2. Mempersaudarakan antara Kaum Muhajirin dan Ansar Muhajirin adalah para sahahat Rasulullah SAW penduduk Mekah yang berhijrah ke Madinah. Ansar adalah para sahabat Rasulullah SAW penduduk asli Madinah yang memberikan pertolongan kepada kaum Muhajirin. Rasulullah SAW bermusyawarah dengan Abu Bakar r.a. dan Umar bin Khattab r.a. mempersaudarakan antara Muhajirin dan Ansar, sehingga terwujud persatuan yang tangguh. Hasil musyawarah memutuskan agar setiap orang Muhajirin mencari dan mengangkat seorang dari kalangan Ansar menjadi saudaranya senasab (seketurunan), dengan niat ikhlas karena Allah SWT. Demikian juga sebaliknya orang Ansar. Rasulullah SAW memberi contoh dengan mengangkat Ali bin Abu Thalib sebagai saudaranya. Apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dicontoh oleh seluruh sahahatnya misalnya : • Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Rasuluhlah SAW, pahlawan Islam yang pemberani bersaudara dengan Zaid bin Haritsah, mantan hamba sahaya, yang kemudian dijadikan anak angkat Rasulullah SAW. • Abu Bakar Ash-Shiddiq, bersaudara dengan Kharizah bin Zaid. • Umar bin Khattab bersaudara dengan Itban bin Malik Al Khazraji (Ansar). • Utsman bin Affan bersaudara dengan Aus bin Tsabit. • Abdurrahman bin Auf bersaudara dengan Sa’ad bin Rabi (Ansar). Demikianlah seterusnya setiap orang Muhajirin dan orang Ansar, termasuk Muhajirin setelah hijrahnya Rasulullah SAW dipersaudarakan secara sepasang-sepasang, layaknya seperti saudara senasab. Persaudaraan secara sepasang-sepasang seperti tersebut, ternyata membuahkan hasil sesama Muhajirin dan Ansar terjalin hubungan persaudaraan yang lebih baik. Mereka saling mencintai, saling menyayangi, hormat-menghormati, dan tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Kaum Ansar dengan ikhlas memberikan pertolongan kepada kaum Muhajirin berupa tempat tinggal, sandang pangan, dan lain-lain yang diperlukan. Namun kaum Muhajirin juga tidak diam berpangku tangan, mereka berusaha sekuat tenaga untuk mencari nafkah agar dapat hidup mandiri. Misalnya Abdurrahman bin Auf menjadi pedagang, Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Ali bin Abu Thalib menjadi petani kurma. Kaum Muhajirin yang belum mempunyai tempat tinggal dan mata pencaharian oleh Rasulullah SAW ditempatkan di bagian Masjid Nabawi yang beratap yang disebut Suffa dan mereka dinamakan Ahlus Suffa (penghuni Suffa). Kebutuhan-kebutuhan mereka dicukupi oleh kaum Muhajirin dan Ansar secara bergotong-royong. Kegiatan Ahlus Suffa itu antara lain mempelajari dan menghafal Al-Qur’an dan Hadis, kemudian diajarkannya kepada yang lain. Sedangkan apabila terjadi perang antara kaum Muslimin dengan kaum kafir, mereka ikut berperang. 3. Perjanjian Bantu-Membantu antara Umat Islam dan Umat Non-Islam Pada waktu Rasulullah SAW menetap di Madinah, penduduknya terdiri dari tiga golongan, yaitu umat Islam, umat Yahudi (Bani Qainuqa, Bani Nazir dan Bani Quraizah), dan orang-orang Arab yang belum masuk Islam. Rasulullah SAW membuat perjanjian dengan penduduk Madinah non-Islam dan tertuang dalam Piagam Madinah. Isi Piagam Madinah itu antara lain: a. Setiap golongan dari ketiga golongan penduduk Madinah memiliki hak pribadi, keagamaan dan politik. Sehubungan dengan itu setiap golongan penduduk Madinah berhak menjatuhkan hukuman kepada orang yang membuat kerusakan dan memberi keamanan kepada orang yang mematuhi peraturan. b. Setiap individu penduduk Madinah mendapat jaminan kebebebasan beragama. c. Seluruh penduduk Madinah yang terdiri dan kaum Muslimin, kaum Yahudi, dan orang-orang Arab yang belum masuk Islam sesama mereka hendaknya saling membantu dalam bidang moril dan materil. Apabila madinah diserang musuh, maka seluruh penduduk Madinah harus bantu-membantu dalam mempertahankan kota Madinah. d. Rasulullah SAW adalah pemimpin seluruh penduduk Madinah. Segala perkara dan perselisihan besar yang terjadi di Madinah harus diajukan kepada Rasulullah SAW untuk diadili sebagaimana mestinya 4. Meletakkan Dasar-dasar Politik, Ekonomi, dan Sosial yan Islami demi Terwujudnya Masyarakat Madani Islam tidak hanya mengajarkan bidang akidah dan ibadah, tetapi mengajarkan juga bidang politik, ekonomi, dan sosial, yang kesemuanya bersumber pada Al Qur’an dan Hadis. Pada masa Rasulullah, penduduk Madinah mayoritas sudah beragama Islam, sehingga masyarakat Islam sudah terbentuk, maka adanya pemerintahan Islam merupakan keharusan. Rasulullah SAW selain sebagai seorang nabi dan rasul, juga tampil sebagai seorang kepala negara (khalifah). Sebagai kepala negara, Rasulullah SAW telah meletakkan dasar bagi sistem politik islam, yakni musyawarah. Melalui musyawarah, umat Islam dapat mengangkat wakil-wakil rakyat dan kepala pemerintahan, serta membuat peraturan peraturan yang harus ditaati oleh seluruh rakyatnya. Dengan syarat, peraturan peraturan itu tidak menyimpang dan tuntunan Al-Qur’an dan Hadis (dalil naqlinya lihat QS. An-Nisã’, 4: 59). Dalam bidang ekonomi Rasulullah SAW telah meletakkan dasar bahwa system ekonomi Islam itu harus dapat menjamin terwujudnya keadilan sosial. Dalam bidang sosial kemasyarakatan, Rasulullah SAW telah meletakkan dasar antara lain adanya persamaan derajat di antara semua individu, semua golongan, dan semua bangsa. Sesuatu yang membedakan derajat manusia ialah amal salehnya atau hidupnya yang bermanfaat (lihat Q.S. Al-Hujurat, 49: 13)
Bagaimana Membuat Orang Hormat Kepada Kita?
Sumber : akuislam.com
1. Hanafi mempunyai seorang rakan karib yang selalu meminjam barang – barang kepunyaannya dan tidak pernah mengembalikannya. Hanafi tidak berani meminta kembali barang – barang itu. “Jika saya berterus – terang, dia tentu akan tersinggung, sedangkan dia adalah kawan baik saya.” keluhnya
2. Di pejabat Johan mempunyai seorang teman yang pandai memujuk. Dia selalu meminta Johan membuat kerjanya. Johan tidak pernah menolak dan selalu memenuhi pujukan kawannya itu. Walaupun dia sedar kebaikannya telah dipergunakan oleh kawannya untuk kerja sambil lewa di pejabat.
Bila ditanyakan kenapakah dia tidak berterus terang, Johan menjawab: “Saatnya belum tiba. Saya tidak berani”
Daripada contoh diatas dapat kita simpulkan bahawa kebanyakkan orang dikalangan kita terpaksa mengorbankan kewibawaan atau haraga dirinya demi kesenangan orang lain.
Mereka tidak pandai untuk mengatakan “tidak” dan oleh kerana itu mereka terus menderita dan memendam rasa.
Orang Lain Tidak Menghormati Kita?
Tidak semua orang dapat berubah. Jangan memberikan peluang kepada sesiapa pun sebelum orang itu memberikan alasan yang wajar.
Jika kita telah memberikan peluang kepada mereka, maka mereka akan berfikir bahawa apa yang mereka lakukan itu adalah betul.
Ini boleh menyebabkan “penyelewengan” yang berlanjutan. Pada tahap ini, kita kita telah dianggap sebagai orang yang lemah dan tidak lagi dihormati.
Mereka tidak menghormati kita.
Jangan meminta maaf ketika meminta sesuatu yang wajar.
Contohnya, tiga jam selepas memaksa anaknya mengemas bilik, seorang ibu berkata: “Mak mintak maaf sebab suruh along kemaskan bilik.”
Jangan! mereka harus menghormati kita sebagai ibu dan bila kita menyuruh membuat perkara betul,
Jangan pindahkan tanggungjawab kita kepada orang lain.
Contohnya: “Tadi bos kata suruh kau perlu…,” atau “Adik, ayah suruh adik ke kedai beli beras..”. Pernyataan seperti ini akan membuatkan kewibawaan kita akan hilang dan sekaligus menjadi seorang pembawa maklumat yang tidak dihargai.
Kita hendaklah berusaha memasukkan unsur – unsur yang mantap dalam berkomunikasi.
Berikut adalah perkara yang perlu dilakukan supaya orang lain menghormati diri kita:
1. BERTERUS TERANG
Nyatakan perasaan dan harapan kita secara jelas.
Orang yang pasif kerapkali beranggapan bahawa orang lain pasti ingin tahu apa yang diharapkannya, walaupun dia tidak memberitahunya.
Perkara ini akan menimbulkan banyak masalah sebenarnya.
2. FIKIRKAN SEGALANYA DALAM – DALAM
Berfikir dengan sedalam – dalamnya sebelum bertindak dalam sesuatu masalah.
Dengan memikirkan terlebih dahulu segala – galanya secara matang, kita boleh menyelesaikan setiap masalah dengan lebih sempurna dan masuk akal.
3. HADAPI SETIAP PERSOALAN & MASALAH DENGAN SEGERA
Jika kita cuba menghindarinya, kita akan menjadikan setiap masalah bertambah serius, sehingga semakin sukar untuk diselesaikan.
Tetapi jika kita berani menghadapinya sejak dari awal lagi, segala masalah akan dapat diatasi.
4. KLASIFIKASIKAN MASALAH SECARA CERMAT
Sering kali kita membuat sesuatu masalah itu seolah – olah masalah besar. Menghadapinya secara berlebihan, sehingga terjebak dalam kobaran emosi.
Hadapilah setiap masalah dengan teliti, kita akan mampu untuk menguasai diri. Seterusnya dapat menyelesaikan masalah secara positif.
5. PISAHKAN KEMARAHAN DENGAN KETEGASAN
Jika ketegasan kita dipenuhi sifat amarah, perkara ini adalah bukan menyelesaikan masalah.
Malah boleh menyebabkan tugas atau kewajipan kita akan terbengkalai.
Jika kita gagal bersifat tegas dalam keadaan yang tenang, kemungkinan besar reaksi kita adalah terlalu agresif. Dari sudut lain, jika kita marah, maka orang lain akan menunjukkan kecenderungan bersifat defensif (menolak).
Akibatnya, masalah yang ada itu akan menjadi sukar untuk diselesaikan.
Oleh itu, kita jangan terjerat oleh perasaan emosional yang berlebihan daripada orang lain terhadap apa yang kita katakan, agar kita tidak mudah untuk naik angin.
Ketegasan dalam ketegangan amat berkesan mempengaruhi persepsi seseorang terhadap kita.
6. MANFAATKAN KAWASAN KEKUASAAN KITA
Pasukan bola sepak sering menang di gelanggang sendiri. Begitu jugalah dengan ketegasan.
Memang sukar untuk menghadapi seorang rakan bila sedang berada di rumah atau pejabatnya. Oleh kerana itu, berusahalah untuk tegas di kawasan kekuasaan kita sekiranya keadaan memungkinkan.
Ia memberikan suatu keuntungan yang tidak ketara tetapi mantap.
7. JANGAN BERPURA – PURA MENGGERTAK
Budak kecik sekali pun tahu jika kita hanya berpura – pura menggertaknya. Untuk menegakkan kepercayaan orang terhadap kita, nyatakan hujah – hujah yang masuk akal serta akibat – akibat yang akan terjadi jika semua itu tidak dilakukan.
Nyatakan pernyataan kita itu dengan serius dan bersungguh – sungguh. Orang lain akan menghormati kita jika mereka yakin kita serius.
Kita juga akan lebih disukai jika sanggup berkorban, namun dalam hal ini tiada maknanya jika kita dipergunakan.
***
# Hormat dan menghormati adalah penting dalam kehidupan kita. Anda pernah mengalami situasi ini dan ada cara lain untuk ditambah sebagai penyelesaian masalah ini?
Mencari Kebahagian Hakiki?
dakwatuna.com – Alasan setiap manusia menuntut ilmu setinggi-tingginya baik dengan pendidikan formal di sekolah atau pelatihan-pelatihan, bekerja siang dan malam membanting tulang tanpa kenal lelah, mulai dari Pak Petani di sawah dan ladang sampai ke Pak Presiden di istana megah nan menjulang, adalah karena satu dorongan yaitu demi meraih kebahagiaan. Namun, mengapa kebahagiaan itu tak jua kunjung didapat? Mengapa hidup ini tetap saja terasa ruwet, sumpek, tidak bahagia walau kekayaan sudah ditangan, jabatan tinggi sudah berhasil diraih, bahkan popularitas sudah pula diperoleh.
Tulisan ini saya peruntukkan bagi mereka, para pencari kebahagiaan, tak terkecuali diri saya sendiri, agar dapat kembali mengingat apa hakikat sebenarnya dari usaha mencari kebahagiaan ini
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, arti kata kebahagiaan adalah kesenangan dan ketentraman hidup yang bersifat lahir dan batin. Demi meraih kebahagiaan ini, manusia rela melakukan apa saja walau sampai harus melukai dirinya sendiri. Permasalahannya, kadang kita keliru dalam memahami konsep kebahagiaan yang akibatnya membuat kita keliru pula dalam cara mewujudkannya. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa kebahagiaan itu bersumber dari tiga hal yaitu; kekayaan, popularitas, dan kekuasaan.
Sebut saja seorang ayah yang sedang menasehati anaknya untuk rajin belajar di sekolah. Sudah tidak asing lagi rasanya ditelinga kita bahwa sang Ayah akan berkata,
“rajin-rajin lah belajar di sekolah ya nak, agar kamu jadi orang pinter, kalo kamu pinter kamu bisa bekerja di tempat yang bagus, jadi kamu bisa punya uang yang banyak, bisa punya rumah yang bagus, bisa hidup layak dihargai dan dikenal masyarakat, dan tentu suatu saat bisa juga membantu orang-orang yang lemah”.
Sekilas, memang tidak ada yang salah pada kalimat sang ayah, bahkan mungkin terdengar mulia, karena sang ayah mendidik si anak agar menjadi orang yang dermawan. Namun, apakah kalau tidak bisa jadi orang kaya, lantas semua kebahagiaan itu akan sirna? Lalu bagaimana dengan nasib orang yang terlahir dengan kondisi tidak sempurna, seperti cacat tidak memiliki kaki atau tangan, sehingga tidak mampu melakukan apa-apa selain meminta pertolongan; atau bagaimana dengan nasib orang yang lahir dari keluarga miskin seperti dibelahan dunia Afrika sana? Jangankan memikirkan pendidikan, memikirkan masalah makanan untuk esok hari saja amatlah sulit. Apakah kebahagiaan hanya untuk mereka yang kebetulan bernasib baik lahir dengan kondisi sehat dan serba lengkap? Atau kebahagiaan hanya milik mereka yang sukses mendapatkan harta berlimpah, terkenal, dan punya jabatan penting? Dimanakah letak keadilan Tuhan?
Kesalahan dalam memahami konsep kebahagiaan dapat berakibat sangat fatal. Contohnya, fenomena yang terjadi di Jepang. Jepang dikenal dengan negara super power dalam hal kekuatan ekonomi, teknologi, maupun karakter manusianya yang sangat santun, taat aturan, pekerja keras, jujur, dan juga sangat ramah. Namun disisi lain, Jepang juga sangat terkenal sebagai negara yang sangat tinggi angka bunuh dirinya. Pihak kepolisian Jepang mencatat kasus bunuh diri di Jepang mencapai sekitar 33 ribu orang pada tahun 2009 atau sekitar 100 orang setiap harinya. Bayangkan! ada 100 orang setiap hari bunuh diri di Jepang. Celakanya, fenomena bunuh diri ini berada pada urutan tertinggi dari penyebab kematian di Jepang untuk orang yang berumur antara 20-39 tahun, yaitu umur produktif dalam bekerja.
Lembaga-lembaga penelitian masyarakat mengungkapkan bahwa penyebab utama dari tingginya angka bunuh diri ini adalah karena depresi mental akibat tekanan ekonomi dan sosial. Sungguh paradoks rasanya mengingat Jepang sebuah negara yang kaya, dengan penduduknya yang rata-rata berpendidikan tinggi, fasilitas pemenuh kebutuhan dan kesehatan tersedia dengan lengkap, namun tetap saja masyarakatnya tidak juga dapat memperoleh kebahagiaan; sehingga memilih mati bunuh diri karena putus asa menjalani pahitnya kehidupan.
—
Dalam upaya meraih kebahagiaan, sering kali kita keliru dalam membedakan mana kesenangan dan mana kebahagiaan. Hal ini mengakibatkan kita terjebak pada kesenangan yang tidak membawa pada kebahagiaan. Untuk itu kita harus dapat membedakan dengan baik antara kesenangan dan kebahagiaan.
Menurut ilmu kedokteran, kesenangan adalah aktifitas yang dapat diamati secara fisik pada otak manusia yang terjadi akibat dirangsangnya saraf “pusat kesenangan” atau “pleasure center”. Saraf yang dirangsang ini akan menghasilkan mekanisme hormonal, yaitu keluarnya suatu zat kimia dari neuron di otak yang mengakibatkan timbulnya rasa enak, senang, dan nikmat. Jadi, untuk memperoleh rasa senang, mudah saja caranya, yaitu dengan merangsang saraf pusat kesenangan ini, misalnya dengan obat-obatan tanpa perlu bekerja atau bersusah payah. Sayangnya hal ini tidak dapat bertahan lama. Sementara kebahagiaan adalah keadaan yang berlangsung lama, tidak sementara, yang berhubungan dengan penilaian pada kehidupan secara keseluruhan. Kegagalan dalam membedakan makna kesenangan dan kebahagiaan membuat kita sering kali terfokus pada pemenuhan kesenangan, bukan kebahagiaan itu sendiri.
Tidak semua kesenangan membawa kebahagiaan. Sudah sering kita temukan fakta-fakta bahwa orang-orang yang secara umum dianggap bahagia, malah tidak merasa bahagia. Contohnya artis-artis terkenal yang malah stres karena tidak memiliki kehidupan pribadi yang normal akibat ketenarannya sendiri, seorang politikus yang malah menjadi sakit jiwa karena bangkrut akibat kalah kampanye, atau seorang konglomerat kaya raya yang merasa depresi tidak bahagia karena keluarganya berantakan kurang perhatian dan kasih sayang. Lebih parahnya lagi, pemenuhan kesenangan untuk mencapai kebahagiaan ini justru yang alih-alih menjadi salah satu penyebab utama rusaknya moral masyarakat, sehingga terjadi masalah kecanduan obat-obat terlarang, miras, penyakit sex karena gaya hidup bebas, pencurian, perampokan, korupsi, pembunuhan, dan tindakan kriminal lain yang dilakukan demi mendapatkan kebahagiaan, padahal yang diperoleh hanya kesenangan sementara.
Allah SWT berfirman pada Al-Qur’an surat Thaahaa ayat 124;
“dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (Q.S.Thaahaa (20) : 124)
Rekan-rekan pencari kebahagiaan, pada surat Thaahaa diatas sebenarnya Sang Pencipta telah dengan jelas memberikan jawaban atas sumber dari semua permasalahan kebahagiaan. Allah SWT mengungkapkan rahasia penting bahwa pengabaian kita terhadap aturan-aturan dan peringatan-Nya akan mengakibatkan setidaknya dua bencana besar.
Yang pertama adalah kehidupan dunia yang sempit. Hidup dirundung banyak masalah, silih berganti dari satu masalah ke masalah yang lain. Hidup terasa sumpek, stres, ruwet, dan tidak kunjung bahagia padahal harta dan kekayaan sudah ditangan, jabatan penting sudah berhasil diraih, bahkan popularitas sudah pula diperoleh.
Yang Kedua adalah yang paling parah, yaitu sudah lah tidak mendapatkan kebahagiaan di dunia, di akhirat pun sudah pasti akan mendapat siksa. Kita akan dikumpulkan dan diazab serta dibuat buta diakhirat nanti. Naudzubillah min dzalik.
Lalu apa yang harus kita lakukan agar dapat memperoleh kebahagian hidup? Pada ayat yang lain Allah SWT berfirman:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (Q.S.An-Nahl (16) : 97).
Sudah sangat tegas penjelasan Allah SWT pada surat An-Nahl ayat 97 ini bahwa satu-satunya cara memperoleh kebahagiaan atau kehidupan yang baik itu adalah dengan mengerjakan amal-amal sholeh; yaitu taat pada seluruh aturan-Nya dan menjalankan segala perintah serta larangan-Nya.
Inilah konsep kebahagiaan yang hakiki; yaitu tujuan hidup kita di dunia ini, baik itu dalam belajar, bekerja, ataupun berusaha, hanya satu saja “mendapatkan ridho Allah SWT”.
Kekayaan, popularitas dan kekuasaan tidak lagi menjadi tujuan utama; sehingga terlepas apakah sebuah usaha kita berhasil atau gagal, kita akan tetap merasa bahagia karena tujuan utama kita dalam berusaha adalah mendapatkan ridho Allah SWT, bukan kekayaan, popularitas, ataupun jabatan semata.
Seberat apapun cobaan, kesulitan, dan penderitaan yang dirasakan, akan dapat dilalui dengan ikhlas, mudah, dan hati lapang; karena kita yakin Allah SWT akan membalas semua usaha itu dengan ganjaran pahala yang berlipat ganda. Ini lah yang dimaksud dengan kehidupan yang baik pada surat An-Nahl (16) : 97 diatas, yaitu tercapainya kebahagiaan hakiki. Hidup jadi terasa ringan, mudah, simple, penuh makna, tidak sia-sia, dan tanpa beban, karena kunci kebahagiaan adalah bukan pada hasil tetapi pada cara mewujudkannya. Hati akan senantiasa ikhlas menerima apapun ketentuan Tuhan, karena yakin bahwa itu lah hasil terbaik yang diberikan Sang Maha Pengasih dan Penyayang.
Dengan konsep kebahagiaan hakiki ini, masalah ketidakadilan Tuhan yang saya kemukakan diawal tulisan ini dapat dengan mudah dipecahkan. Walaupun seorang manusia dilahirkan dengan kondisi cacat dan dari keluarga miskin sekalipun, atau semua usaha yang dilakukan berujung pada kegagalan dan penderitaan sekalipun, semua itu tidak akan membuatnya tidak bahagia dan putus asa apalagi sampai bunuh diri. Karena, sekali lagi, kebahagiaan hakiki diperoleh ketika ia berhasil mendapatkan ganjaran pahala atas apa yang diusahakannya; yaitu usaha yang dilakukan dengan dasar aturan-aturan yang ditetapkan dalam Al-Qur’an dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai tambahan, dengan dilengkapi pemahaman yang baik dalam membedakan kesenangan dan kebahagiaan, kita jadi lebih pandai memilih kesenangan apa yang boleh dan baik untuk kita, sehingga pada akhirnya benar-benar tercapai kebahagiaan yang hakiki.
Akhirnya, agar kita selalu menjadi orang yang sukses, beruntung, bahagia, dan selalu mendapat petunjuk dari Allah SWT, izinkan saya menutup tulisan ini dengan mensitir Surat Al-Baqarah (1) ayat 2-5 yang artinya; “Kitab Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (yaitu) Mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka, dan Mereka yang beriman kepada (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau, dan Mereka yakin akan adanya akhirat. Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Karena itu, jadilah orang yang bertakwa jika ingin bahagia!
*Farid Triawan adalah mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh program Doktor di Tokyo Institute of Technology, Jepang. Email: (farid.triawan@gmail.com)
Langgan:
Catatan (Atom)